Selalu Berbeda, Lalu Apa? (Catatan Setelah Berkunjung di Stan Smansa Langke Rembong)

Selalu Berbeda, Lalu Apa? (Catatan Setelah Berkunjung di Stan Smansa Langke Rembong)

Kemarin pagi (2/5) saya menyempatkan diri berkunjung ke pameran di depan kantor Bupati. Dari beberapa postingan di media sosial, saya mendapati informasi akan ada pameran karya dari berbagai Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) se kabupaten Manggarai. Katanya juga, sebelum pameran berlangsung, apel Hardiknas akan diselenggarakan di Natas Labar Motang Rua. Benar adanya. Sedari pagi sebelum pintu kantor pemerintahan dibuka, ribuan siswa mulai memadati seputaran Natas Labar. Hari ini 2 Mei. Kura-kura demikian.

Kurang lebih di jam 11, pada saat matahari sedang terik-teriknya, saya menyempatkan diri berkunjung ke sana. Dari beberapa stan yang saya lewati, mata saya tertuju pada stan milik SMA Negeri 1 Langke Rembong. Bukan apa. Selalu ada alasan untuk sekolah ini. Di depan meja penuh buku, saya berdiri mematung. Melihat dari dekat karya milik anak Smansa ini. Tiba-tiba seorang guru menghampiri saya. “Halo pak Evan apa kabar”, beliau membuka percakapan.

Bapak Wilibrodus Suhardi nama guru tersebut. Beliau masih mengenal saya. Kebetulan tahun lalu, di salah satu kesempatan kegiatan P5, saya mengisi salah satu topik Kewirausahaan. Beliau memperkenalkan saya kepada beberapa siswa. “Beliau ini yang punya usaha namanya jasa titip”, jelas beliau singkat. Kami larut dalam canda dan tawa. Ia menjelaskan, kali ini Smansa menampilkan beberapa karya berbeda. Ada buku antologi puisi, ada film pendek para siswa, pupuk kompos dan anyaman tas. Benar adanya. Sesuai apa yang saya perhatikan saat mematung tadi. “Keren Smansa ni e”, kata saya dalam hati.

Setelah beliau bergegas ke tempat lainnya, saya mulai mewawancarai tiga siswa yang melayani pertanyaan saya di awal kedatangan. Mereka adalah Agustinus Andika Kelas XI A Ilmu Terapan, Stefano Cahyadi Tura Kelas XI G Ilmu Terapan dan Gregorio Brilliant Aventino Dandung Kelas XI G Ilmu Terapan. “Ini pupuk apa ase”, tanya saya membuka percakapan. Agustinus mulai menjelaskan. “Ini kae kami punya karya yang dihasilkan dari mata pelajaran Pendidikan Kewirausahaan. Guru mata pelajarannya Ibu Stefiani Natalista Sari atau sering disapa ibu Lista. Jadi ini pupuk kompos merupakan hasil uraian dari sayuran sisa di rumah, kemudian diurai oleh EM4 dan dicampur dengan abu dapur kae”. Saya yang dengar mulai tertarik. “Abu dapur?”, tanya saya dalam hati. “tidak lama saja ini kae. Kurang lebih tiga minggu sudah jadi seperti ini”,terang Agustinus.

Saat tahu mereka bisa menghasilan pupuk kompos dari mata pelajaran, saya langsung mengingat Rumah baca aksara. Saya pernah membeli satu karung pupuk kompos di mereka. Ukuran 50 kg harganya 50 ribu. “Ase, kalau ada waktu main ke RBA. Mereka disana menghasilkan pupuk juga. Kalau tidak salah dari kotoran kambing. Bahkan mereka jual itu pupuk sampai ke Labuan Bajo”, jelas saya kepada ketiga adik ini.

Lalu Apa?

Oke kaka dong semua, pembaca yang mungkin baru singgah di saya punya website. Saya sudahi dulu. Kita masuk ke hal inspiratif yang saya dapatkan dari stan Smansa Langke Rembong. Saya punya satu hal inspiratif yang bisa dibagikan yakni setiap siswa bisa berkarya. To? Saya yakin anda sekalian juga sepakat akan hal ini. Setiap siswa di sekolah punya kemampuan berbeda-beda. Karena perbedaan inilah, karya yang dihasilkan pun juga beraneka ragam. Contohnya Smansa Langke Rembong. Ketika setiap siswa kita yakini bisa berkarya, guru mata pelajaran hadir mendampingi, pimpinan sekolah memberi dukungan, jadi barang itu. Saya menyebutnya ekosistem sekolah memberi ruang kepada para siswa untuk berkarya. Kura-kura demikian.

Para pembaca sekalian, kemudian, lalu apa? Pertanyaan lalu apa ini mau mengarahkan pikiran kita untuk memikirkan, kira-kira setelah pameran, karya-karya tersebut mau diapakan? Menurut saya, karya-karya tersebut akan kembali ke habitatnya, ke gudang sekolah, ruang kepala sekolah maupun ruangan guru. Atau bisa jadi, yang makanan, ke meja ngopi di ruang guru. Habis, senyap, sendiri. Itu sudah.

Tulisan yang sedang anda baca ini sekurang-kurangnya ingin memberi zona lain dari pertanyaan, lalu apa? Saya punya beberapa pikiran. Kesatu, karya-karya tersebut mesti dijual ke publik. Jika produk atau karya yang dihasilan oleh para siswa bisa dijual, saya berpikir sah-sah saja produk tersebut dijual. Apa pentingnya, yah si anak dapat belajar kewirausahaan secara lebih lanjut. Bukan hanya perkara membuat karya tersebut tapi mampu menjualnya.

Kedua, bagaimana cara menjualnya? Lantas ada pertanyaan ikutan, apakah ada yang mau beli? Sejauh pengalaman saya menjalankan usaha jasa titip bersama Evan Jastip, saya meyakini, setiap produk itu memiliki pasarnya sendiri. Bergantung dari pelaku usaha tersebut apakah mau mempromosikan produknya atau tidak. Tahu dulu oleh banyak orang baru pasang target, “orang itu harus beli produknya kami”. Bagaimana supaya banyak orang tahu produk kita? Mainkan media sosial, apa saja, perkuat jejaring pertemanan dan keluara. Itu saja. Pembeli akan datang setelahnya.

Ketiga, agar momentum kewirausahaan bisa terjaga pasca pameran, perlu dibuatkan satu Unit Kegiatan Siswa (UKS) khusus di bidang kewirausahaan. Meski mata pelajaran Pendidikan Kewirausahaan sudah diterapkan di sekolah, saya berpikir masih kurang. Agar pergerakan para siswa lebih leluasa, ada baiknya para siswa yang berminat di bidang Kewirausahaan bisa menginisiasi UKS Kewirausahaan ini. Di Unit ini mereka bisa merancang program kerja yang salah satunya bisa berupa promosi karya-karya siswa. Termasuk di dalamnya mengelola hasil penjualan karya tesebut.

Masih berkaitan dengan poin ketiga ini, posisi UKS ini cukup strategis. Anggap saja selama ini, sekolah hanya bertumpu pada kegiatan P5 dalam pameran karya, UKS bisa secara rutin mengadakan kegiatan pendampingan atau pelatihan atau sejenisnya bersama para pakar atau professional di bidangnya masing-masing. Mereka diundang ke sekolah, ke masing-masing peminatan karya, untuk melatih para siswa. Rutin. Lalu, puncaknya adalah pada saat P5.

Keempat, semua kegiatan tersebut didokumentasikan. Baik karya-karya yang tercipta, karya-karya yang laku terjual maupun kegiatan UKS tadi. Apa manfaat dokumentasi ini? Tentu untuk urusan akreditasi sekolah. Setidaknya sekolah bisa menjadi ekosistem kewirausahaan yang handal bagi para siswanya.

Kelima, anggapannya, ada satu atau dua siswa yang tidak mampu secara ekonomi, tidak bisa melanjutkan pendidikan tinggi. Harapannya, ia dapat melanjutkan apa yang telah ia mulai di UKS tadi, apa yang telah ia pelajari di UKS untuk kemudian menjadi bekal menaklukan dunia nyata. Anggap saja dia mulai merintis usaha baru atau usaha serupa yang ia telah rancang selama di bangku sekolah. Siapa tahu, ia sukses.

Mulai dari Smansa?

Pertanyaan ini semacam gangguan atau umpan saja lebih tepatnya. Apakah UKS tersebut bisa diterapkan? Di jam sekolah ada mata pelajaran Pendidikan Kewirausahaan, di sore hari ada Unit Kegiatan Siswa Kewirausahaan, atau menggunakan nama lain yang sesuai dengan identitas Smansa pun kesepakatan bersama para anggota.

Siapa tahu ke depan, Smansa Langke Rembong tidak hanya dikenal sebagai sekolah yang selalu punya karya berbeda, tapi juga dikenal sebagai sekolah dengan Literasi Kewirausahaan Terbaik se NTT. Siapa tahu kan? Bukan sekadar konsep kewirausahaan, apa itu kewirausahaan manfaat kewirausahaan dll, tapi juga memiliki bukti pada ketersediaan karya dan terserapnya karya tersebut di pasar.

Siapa tahu juga ke depan, yang berangkat ke Jakarta bukan perwakilan lomba mata pelajaran tapi perwakilan UKS yang mempresentasikan karyanya di hadapan juri atau di hadapan para pimpinan bank Negara yang siap memberi modal pengembangan. Siapa tahu, iya kan?

Berhubung ini semacam gangguan atau umpan, saya sudahi dulu e. saya punya kaki mau jalan-jalan dulu ke beberapa stan. Siapa tahu ada inspirasi baru yang bisa saya tuangkan dalam bentuk tulisan.

Salam ke Smansa Langke Rembong.

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *